BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara agraris, sehingga tidak jarang konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik dalam hal memperebutkan tanah sebagai salah satu lahan produksi yang menunjang kehidupan manusia dan merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat di dalam suatu negara.
Konflik agraris ini bukan hanya terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, tetapi juga bisa terjadi antara kelompok dengan kelompok karena sama-sama merasa tanah tersebut menjadi hak kepemilikan mereka.
Sengketa agraria ini bahkan seringkali menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan memunculkan adanya kontak fisik antara pelaku dan hingga pada akhirnya menyebabkan ketidakstabilan politik di Indonesia. Seperti halnya yang pernah terjadi di Kebumen akhir-akhir ini dimana adanya konflik antara TNI dan warga sekitar dalam memperebutkan lahan yang masing-masing pihak mengklaim bahwa mereka memiliki hak atas tanah tersebut. Padahal belum lama ini Komnas HAM merilis berita tentang menurunnya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI. Tetapi fakta di lapangan berbeda, terbukti di Kebumen Jawa Tengah kekerasan yang dilakukan oleh TNI terhadap petani masih saja terjadi.
Konflik ini berawal karena penolakan petani di 15 desa dari tiga Kecamatan (Milit, Ambal, Bulus Pesantren), di Kabupaten Kebumen terhadap rencana pembangunan Pusat Latihan Tempur TNI AD (PUSLATPUR TNI AD). PUSLATPUR tersebut rencananya akan dibangun seluas 500 meter dari garis pantai ke arah utara sepanjang 22,5 km. Selama ini latihan tempur yang dilakukan TNI selalu saja mengakibatkan kerusakan tanaman petani dan tidak ada kompensasi yang layak diberikan pada petani. Bahkan dari berita terbaru saat ini konflik tersebut telah menelan 13 korban.(Seruu.com, 2011).
Konflik ini jelas menimbulkan efek negatif bukan hanya bagi stabilitas politik di Indonesia, tetapi juga bagi warga sekitar yang akan merasa tidak nyaman, tidak aman dan selalu was-was karena adanya konflik yang terjadi di daerah mereka. Namun kasus sengketa lahan antara TNI dan warga masyarakat bukanlah kali pertama ini terjadi, seperti yang terjadi di Sumatra Barat, tercatat sejak tahun 2004-2008 ada 25 kasus sengketa lahan yang melibatkan antara militer dan warga (Vino, 2008). Pada tahun 2007 terdapat kasus sengketa lahan antara TNI AU dan warga Desa Sukamulya Bogor (Suara Karya,2007), pada tahun 2007 pula terdapat kasus sengketa lahan antara TNI AL dan warga Desa Alastlogo Pasuruan (Norman, 2008). Itu hanya beberapa contoh kecil saja dari sengketa lahan antara militer dan warga yang terjadi di Indonesia.
Melihat banyaknya kasus-kasus sengketa lahan antara warga dan TNI yang pada akhirnya menyebabkan konflik dan intsabilitas politik, maka perlu dilakukan sebuah langkah kongkret bersama untuk dapat mencari solusi yang terbaik agar tidak menimbulkan konflik yang semakin besar dan semakin sulit untuk diselesaikan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka kita dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Konflik apakah yang terjadi di Kebumen?
2. Bagaimanakah cara penyelesaian konflik tersebut?
C. Kerangka Dasar Teori
· Definisi Konflik
Menurut Nardjana (1994), konflik adalah akibat keadaan dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan situasi dimana terdapat ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4).
Sehingga dari pengertian konflik diatas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah merupakan suatu keadaan dari akibat adanya pertentangan antara kehendak, nilai atau tujuan yang ingin dicapai yan menyebabkan suatu kondisi tidak nyaman baik didalam diri individu maupun antar kelompok.
· Pandangan tentang Konflik
Menurut Robbin (1996: 431) ada tiga pandangan dalam menilai konflik, yaitu :
1. Pandangan Tradisional (The Traditional View).
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik ini merupakan bentuk disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang-orang,
2. Pandangan Hubungan Manusia (The Human Relation View).
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, konflik harus dikelola dengan baik dan dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi dan dapat memotivasi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
3. Pandangan Interaksionis (The Interactionist View).
Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik agar anggota kelompok atau organisasi akan tetap semangat, kritis dan kreatif. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif.
· Model-model Konflik
Terdapat tiga model konflik umum (Pruitt dan Gahagan, 1974) yaitu :
- Model Agresor – Defender
Model ini menarik garis pembeda antara kedua pihak yang berkonflik. Salah satu pihak menjadi “agresor” (penyerang), dimana pihak ini memiliki suatu tujuan yang mengakibatkan terlibat dalam suatu konflik dengan pihak lainnya yang disebut sebagai “defender” (pihak yang bertahan). Agresor adalah pihak yang melihat adanya kesempatan untuk mengubah hal yang searah dengan tujuan dan kepentingannya, dengan memulai taktik yang ringan dan apabila tidak berhasil akan berpindah ke taktik yang lebih berat, sedangkan defender akan menjadi pihak yang berusaha menolak perubahan tersebut. Didalam model ini aliran penyebab hanya satu arah, dimana agresor bertindak dan defender bereaksi.
- Model Spiral − Konflik
Di dalam model ini, konflik dijelaskan sebagai sebuah konflik dimana aliran penyebab konflik bersifat dua arah, dimana masing-masing pihak memberikan reaksi atau hukuman kepada pihak lain atas tindakan kelompok tersebut yang dianggap tidak menyenangkan (aversif).
- Model Perubahan Struktural
Dalam model ini konflik dan taktik-taktiknya yang digunakan untuk mengatasinya itu akan menghasilkan residu, dimana residu ini merupakan perubahan yang terjadi baik pada pihak yang berkonflik dan masyarakat sekitar.
· Cara atau Taktik Mengatasi Konflik
Ada beberapa cara untuk mengatasi konflik (Mozaik, 2009), yaitu:
Diatasi oleh pihak-pihak yang bersengketa:
- Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
- Persuasi: Usaha mengubah posisi pihak lain, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
- Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima.
- Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur.
- Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
- Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak harus mengalah dan menyerah secara terpaksa.
Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:
Apabila pihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
- Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
- Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu.
- Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi.
BAB II
PEMBAHASAN
Kebumen adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Kebumen mempunyai luas wilayah sebesar 128.111,50 ha atau 1.281,11 km² dengan kondisi beberapa wilayah merupakan daerah pantai dan pegunungan, namun sebagian besar merupakan dataran rendah. Akhir-akhir ini nama Kebumen kembali muncul di publik hal ini dikarenakan munculnya konflik yang terjadi antara warga sekitar yang mayoritas merupakan petani dengan TNI AD. Konflik ini berakar dari sengketa di lahan tanah Urut Sewu yang hampir 29 tahun lamanya tanah yang menjadi bahan sengketa itu menjadi tempat latihan tentara. Perseteruan batas lahan mulai kembali memuncak pada tahun 2007. Warga mencari keadilan melalui berbagai upaya, seperti lewat DPRD, Bupati Kebumen, dan ke Komnas HAM sekalipun. Namun, konflik tetap berkepanjangan dan tidak ada jalan keluar. Warga merasa tanahnya semakin mengkerut, mengecil.
Dalam beberapa pekan terakhir, konflik agraria yang belum ada penyelesaian kongkrit ini mulai memuncak. Dimana, Petani melakukan aksi sabotase jalan pada hari Minggu tanggal 10 April 2011. TNI pun tidak bisa menggelar latihan uji coba meriem buatan dari Korea. Konflik ini sempat mereda selama lima hari, namun ternyata konflik semakin panas. Puncaknya, pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011, warga dan TNI terlibat bentrok. Setidaknya ada sebanyak 13 orang yang terluka terkena tembakan peluru karet dan hantaman popor senjata TNI dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka akibat disiksa di Kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan (dislitbang) TNI-AD di Desa Setrojenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen. (KPA.or.id, 2011).
Hal ini terjadi karena penolakan petani di 15 Desa dari tiga Kecamatan (Milit, Ambal, Bulus Pesantren), di Kabupaten Kebumen terhadap rencana pembangunan Pusat Latihan Tempur TNI AD (PUSLATPUR TNI AD). PUSLATPUR tersebut rencanannya akan dibangun seluas 500 meter dari garis pantai ke arah utara sepanjang 22,5 km. Selama ini latihan tempur yang dilakukan TNI selalu saja mengakibatkan kerusakan tanaman petani dan tidak ada kompensasi yang layak diberikan pada petani.
Selain itu juga, lahan yang dijadikan tempat pelatihan TNI AD itu pernah memakan korban yaitu ketika itu warga selesai berziarah ke makam lima anak yang menjadi korban bom bekas latihan para TNI pada tanggal 22 Maret 1997 silam. Setelah itu, mereka berusaha memperbaiki barikade di Jalan Diponegoro sebagai jalan menuju kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD yang sempat dibongkar TNI. Kemudian, warga merobohkan papan Dislitbang TNI di gapura masuk. Warga lalu berkumpul di dekat kantor Kecamatan Bulus Pesantren, namun tanpa diduga ternyata sekitar 50 prajurit TNI yang bersenjata laras panjang menyerang warga. Pihak TNI mengaku sudah menjalankan sesuai apa yang ada dalam prosedur untuk insiden di Kebumen ini dengan menggunakan tindakan persuasif, tetapi warga beringas dan merusak instalasi.
Masing-masing pihak mengklaim bahwa merekalah yang memiliki hak atas tanah tersebut, dipihak warga mereka mengaku mempunyai bukti-bukti surat tanah atas kepemilikan lahan di sepanjang pantai yang berada di wilayah Kecamatan Mirit, Ambal dan Kecamatan Bulupesantren. TNI-pun tidak mau kalah mengklaim. Tanah sepanjang pantai itu sebagai tanah negara yang diperuntukkan bagi lahan latihan pertahanan dan keamanan TNI Angkatan Darat.
TNI mengklaim batas tanah negara sepanjang 500 meter dari garis air pantai ke utara, dan membentang sepanjang 22,5 km dari muara sungai Luk Ulo di Desa Ayamputih, hingga muara sungai Wawar di perbatasan Kabupaten Purworejo. Bahkan mereka mengaku pernah mendapatkan izin dari Bupati Kebumen pada 1989. Namun, warga bersikeras batas tanah TNI hanya sampai sepanjang 220 meter dari garis pantai. Warga memiliki bukti kuat soal batas tanah negara dan tanah rakyat sepanjang 220 meter dari garis pantai. Bukti tersebut berupa surat penarikan pajak dan kesaksian warga yang hidup pada saat patok dipasang era penjajahan Belanda. (Seruu.com, 2011).
Rakyat petani merasa hak-haknya terancam. Latihan tentara dan ujicoba alat berat menjadi langganan tontonan rakyat. Awalnya memang tak timbul masalah, meski ada kerugian bagi petani yang sejak semula hidup tenteram dan bekerja di kawasan ini. Tetapi dalam perkembangannya telah terjadi berbagai kasus yang merugikan petani dan bahkan terjadi pula korban harus kehilangan nyawa. Semua sebagai akibat dari adanya latihan tentara dan uji coba alutista (alat utama sistem senjata) tentara.
Namun, TNI AD menolak untuk pindah sepeti yang ditegaskan oleh Komandan Kodim 0709 Kebumen, Letkol (Inf) Windiyatno yang menyatakan, kawasan pertahanan keamanan di daerah Urut Sewu lokasinya strategis. Kawasan ini dinilai paling layak dan memadai jika dibandingkan dengan daerah lain. “Pemindahan kawasan pertahanan keamanan ke wilayah lain akan membutuhkan biaya sangat besar. TNI tidak punya biaya untuk (memindah) itu,” ujar Windiyatno.
Konflik ini pada dasarnya terjadi dikarenakan beberapa faktor, yaitu :
- Hambatan komunikasi, yaitu dimana kurangnya komunikasi antara TNI AD dan warga sehingga mengakibatkan timbulnya suatu bentuk komunikasi yang buruk dan seringkali terjadi kesalahpahaman komunikasi sehingga memunculkan konflik ketika salah satu pihak merasa dirugikan ataupun kepentingannya mulai terganggu.
- Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal, hal ini ditunjukkan dimana kedua belah pihak merasa memiliki surat keterangan yang legal dan sah sebagai pemilik sah penggunaan lahan tersebut, selain itu juga dimana belum ada langkah kongkrit pemerintah untuk membentuk suatu reforma UU agraria dan membentuk komisi khusus penanganan sengketa agraria padahal konflik yang berhubungan dengan hal ini cukuplah tinggi.
- Perbedaan status, perbedaan status antara petani dan TNI AD bisa jadi dapat menjadi salah satu faktor konflik ini sehingga berujung kepada jatuhnya korban, dimana TNI AD merasa sebagai kaki tangan negara yang memiliki hak khusus serta memiliki senjata yang dapat dengan mudah untuk digunakan apabila mendapatkan perlawanan dari warga.
- Perbedaan tujuan, perbedaan tujuan dalam pemanfaatan tanah antara petani dan TNI AD, dimana petani ingin tidak setuju apabila tahan tersebut dijadikan tempat latihan militer bagi TNI AD.
- Harapan yang tidak terwujud, harapan yang tidak kunjung terwujud dimana petani kebumen sudah pernah berusaha mencari keadilan sejak tahun 2007 namun tetap tidak ditemukan titik temu, dan pada akhirnya sengketa ini memanas kembali.
Dan jika melihat banyaknya korban yang jatuh dan semua berasal dari pihak masyarakat, hal ini dapat dilihat bahwa TNI tidak menjalankan tugas pokok mereka secara benar berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Karena Berdasarkan dalam Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia disebutkan bahwa tugas pokok TNI adalah :
“…..menegakan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”
Jika dilihat dari tugas pokok TNI jelas-jelas tugas utama TNI adalah untuk melindungi segenap bangsa dan rakyat Indonesia, termasuk juga para petani dan warga yang ada disekitarnya. Apalagi tanggal 20 April merupakan hari hak asasi petani Indonesia, namun yang terjadi adalah dimana TNI AD melakukan tindakan represif dalam menyelesaikan sengketa dan melukai petani. Hal ini tentu akan mencoreng nama baik dan reputasi TNI AD dimata masyarakat sebagai pelindung masyarakat sesuai dengan sapta marga dan 8 hal wajib TNI yang salah satunya adalah dapat selalu bersikap ramah kepada masyarakat.
Adanya konflik yang terjadi di Kebumen juga tidak lepas dari adanya carut marutnya penataan ruang termasuk juga pada penataan ruang. Di dalam UU No 26 Tahun 2007 dijelaskan bahwa penataan ruang termasuk juga penataan Kawasan Latihan Militer harus melihat pada kepentingan umum dan kepentingan masyarakat terutama menjamin pada perlindungan mereka. Selain itu, juga harus diberlandaskan hukum yang mempertimbangkan rasa keadilan serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak. Di dalam undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa dalam penataan ruang, harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti tata guna lahan, penetapan zoning, serta melihat pada kondisi sosial dan budaya masyarakat.
Ketidakjelasan mengenai penataan ruang, kepemilikan tanah, dan penyelasaian yang yang tersendat-sendat hal ini tentu menjadi masalah yang sangat pelik dan semakin runyam apalagi jika tidak segera dicari solusi konflik yang terbaik.
Jika ditelaah maka konflik yang terjadi antara TNI AD dan petani kebumen akan lebih baik dipandang sebagai konflik menurut Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View) yaitu dimana konflik merupakan sesuatu yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Karena konflik tidak bisa dihindari karena akan selalu ada perbedaan pandangan dan pendapat baik diantara individu ataupun kelompok yang masing-masing menjunjung tinggi kepentingan kelompoknya. Akan sangat tidak baik apabila konflik ini dipandang melalui pandangan tradisional karena apabila konflik ini dikelola dan termanajemen dengan baik dan dapat terselesaikan dengan baik, konflik ini akan memberikan manfaat baik bagi pelaku konflik maupun masyarakat sekitar. Manfaat itu dapat berupa: meningkatkan solidaritas antar anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain, meningkatkan pemahaman anggota kelompok tentang konflik dan berusaha menyelesaikan dan memenangkan konflik dengan cara yang lebih baik.
Dan jika dikaji dengan menggunakan model teori konflik menurut Pruitt dan Gahagan (1974), konflik ini masuk dalam kategori konflik model agresor-defender, dimana pihak petani menjadi agresor dan TNI AD menjadi defender, petani dalam usaha mencapai keinginan dan kepentingannyaa melakukan taktik yang ringan terlebih dahulu seperti protes dan diskusi, namun ketika tidak berhasil petani mulai menggunakan taktik-taktik yang lebih berat seperti demo, blokade jalan dan menyerang.
Selama ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu gembar-gembor akan melaksanakan reforma agraria. Namun, fakta menunjukan. Reforma agraria yang dikumandangkan Presiden SBY ternyata masih sebatas wacana belaka. KPA mencatat konflik agraria sepanjang tahun 2010-2011, ternyata masih marak terjadi di negeri ini.
Sedikitnya ada 106 konflik agraria terjadi di negeri sepanjang tahun ini. Sebanyak 3 orang petani mati, 4 orang tertembak, 8 orang mengalami luka-luka, dan 80 orang petani dipenjarakan karena mempertahankan hak atas kepemilikan tanahnya. Luas lahan yang disengketakan, sedikitnya mencapai 535,197 hektar dan melibatkan 517,159 Kepala Keluarga (KK) tani yang berkonflik. Intensitas konflik paling tinggi terjadi karena, sengketa atas lahan perkebunan besar 45 kasus.(KPA, 2011)
Hal ini membuktikan bahwa pemerintahan SBY belum serius dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi. Pemerintahan terkesan berusaha menyelesaikan konflik yang ada dengan cara yang primitif dan kekerasan padahal pada akhinya penyelesaian konflik yang seperti ini malah akan menimbulkan konflik lain yang lebih parah. Dan konflik Kebumen ini dapat dikatakan sebagai salah satu bukti lambatnya penanganan dan respon pemerintah dan institusi terkait mulai dari tingkat daerah sampai pusat.
Melihat kondisi dan situasi konflik di Kebumen ini, dimana masih belum ada kejelasan akan pihak mana yang sesungguhnya benar-benar memiliki hak akan tanah tersebut. Maka perlu adanya manajemen konflik yang tepat agar konflik yang terjadi di kebumen dapat diselesaikan dengan baik dan yang dapat dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan konflik ini dapat dibagi dalam 2 cara:
1. Jangka Pendek
Melihat kondisi konflik yang terjadi di Kebumen saat ini, sangat sulit rasanya apabila penyelesaian konflik dilakukan hanya oleh pihak yang bersengketa oleh karena itu sangat diperlukan adanya keterlibatan pihak ketiga dimana pihak ketiga yang menangani masalah ini merupakan pihak ketiga yang netral, kredibel dan dihormati, sehingga tidak akan memihak kepada salah satu pihak pelaku konflik saja.
Dimana pihak ketiga ini melakukan beberapa langkah, yaitu: (1) Arbitrase (arbitration) dimana pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak, (2) Penengahan (mediation): Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. (3) Konsultasi, dimana tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik dengan lebih baik.
Seperti yang telah kami bahas di atas, Konflik pada dasarnya merupakan sesuatu yang wajar, normal dan harus dapat dikelola dengan benar agar tidak menimbulkan masalah. Dalam masalah sengketa agraria di Kebumen ini, pengelolaan konflik yang tepat adalah dengan cara Kompromi atau Negosiasi yaitu dimana Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak. Dan juga dengan cara Memecahkan Masalah atau Kolaborasi Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Didalam memecahkan masalah ini Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari tindakan represif yang sekiranya dapat terjadi didalam suatu konflik.
2. Jangka Panjang
Untuk mengantisipasi konflik agraria di masa mendatang, pemerintah perlu melakukan langkah kongkrit dalam pemaksimalan badan-badan pertanahan yang sudah ada dan segera mendata ulang hak-hak kepemilikan tanah dengan bekerja sama dengan badan-badan yang ada ditingkat daerah sehingga kejadian sengketa tanah akibat kepemilikan ganda akan tanah tersebut dapat dihindarkan.
Selain itu juga pemerintah segera melaksanakan reforma agraria. Melaksanakan pembaruan agraria berati melaksanakan kontitusi. Karena, pelaksanaan reforma agraria sudah menjadi amanat dalam UUD 1945, UUPA No.5 Tahun 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok.
Dan jika memungkinkan pemerintah perlu segera membentuk sebuah lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di negeri ini. Lembaga ini bersifat adhoc dan bekerja dalam batas waktu tertentu dengan tugas khusus menyelesaikan konflik agraria. Lembagai ini harus dibentuk melalui keputusan presiden. Namun hal ini harus benar-benar dipertimbangkan baik dari segi efektifitas lembaga, pendanaan dan syarat-syarat lain yang harus ada dalam pembentukan sebuah lembaga. Agar nantinya lembaga yang terbentuk dapat bekerja secara maksimal.
BAB III
KESIMPULAN
Konflik agraria yang terjadi di Indonesia merupakan konflik yang sering terjadi di tengah masyarakat. Adanya konflik tersebut merupakan implikasi dari tidak adanya UU yang mengatur secara jelas mengenai pertanahan. Sengketa lahan antara TNI AD dengan warga kebumen terjadi karena adanya saling klaim terhadap sebidang lahan yang ada disana. Masing-masing pihak merasa bahwa mereka mempunyai hak atas tanah tersebut.
Jika dilihat secara seksama, konflik ini merupakan konflik yang telah lama terjadi. Konflik perebutan sumber daya memang selalu menjadi salah satu sumber konflik yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Sangat sulit mencarikan solusi terhadap masalah ini karena masing-masing pihak merasa mempunyai hak atas tanah tersebut. Selain itu, tidak adanya pihak ke 3 yang netral, kredibel, arif, adil, dan bijaksana menjadi salah satu masalah yang menyebabkan kasus ini susah untuk ditemukan jalan keluarnya. Hal ini diperparah dengan tidak adanya komunikasi antara kedua belah pihak dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Diperlukan solusi konflik yang tepat dan bijaksana dalam menyelesaikan konflik ini. Hal ini karena sebenarnya konflik merupakan sesuatu yang wajar dan sering terjadi di masyarakat. konflik hanya perlu untuk diatur atau dikelola dengan baik agar dapat berguna bagi semuanya.
Dan penyelesaian konflik ini dapat dilakukan dengan cara melakukan tahapan arbitrase, mediasi dan konsultasi yang dipihak ketiga yang netral, kredibel dan dihormati, sehingga tidak akan memihak kepada salah satu pihak pelaku konflik saja.
Agar konflik sengketa lahan seperti ini tidak terjadi dikemudian hari diharapkan ada solusi kongkrit dari pemerintah yang antara lain: Memaksimalkan badan-badan pertanahan yang sudah ada, Melaksanakan pembaruan agraria. Karena, pelaksanaan reforma agraria sudah menjadi amanat dalam UUD 1945, UUPA No.5 Tahun 1960, Tap MPR. No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 11/2005 tentang Kovenan Ekosok, Pemerintah membentuk sebuah lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di negeri ini namun tetap diperhatikan akan pendanaan dan efektifitas kinerja lembaga jika lembaga ini benar-benar akan dibentuk.
REFERENSI
Cahyadi, Norman, 2008. KONFLIK ANTARA WARGA DENGAN TNI AL DI DESA ALASTLOGO (Studi Tentang Fungsi Konflik Bagi Masyarakat Pasca Tragedi Penembakan Warga Desa Alastlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan) (Online). (diakses pada 18 April 2011). Ditemukan pada:
Mozaik.2009.Manajemen Konflik (Cara Mengelola Konflik Secara Efektif) (online). (diakses 18 April 2011). Ditemukan pada:
Pruitt, D.G & Rubin J.Z. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia
( ).2010.Lobby dan Negosiasi dalam Konflik (online).(diakses 18 April 2011). Ditemukan pada: