Jumat, 29 April 2011

TiPs untuk para sahabat

pernahkah kamu punya masalah yang berhubungan dengan persahabatan?
pastinyaa dong, secara hidup ga lengkap tanpa sahabat dan secara pula akan banyak tragedi-tragedi dan permasalahan yang muncul di dalamnya, dan sebenernya kalo dipikir-pikir lagi itu yang namanya sensasi persahabatan.
kadang saat berada di saat-saat galau karna memikirkan masalah yang ada di tengah-tengah kita dan sahabat tersayang bisa membuat kita ga bisa berfikir jernih gimana sih cara nyelesein tu masalah, jadi malas kuliah, ngerjain tugas ga bisa, ujung-unjungnya malas ketemu dan menghindar.
tapi percayalah, menghindar bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah, karena hal itu malah akan semakin membuat hubungan mu makin renggang dengan sahabat tersayang.
berikut tips-tips yang bisa teman-teman terapkan saat ada masalah dengan sahabat.

  • cobalah untuk mencari saat yang tepat untuk bertemu dan memulai pembicaraan dengan santai dan rileks, mulai dengan pembicaraan ringan dan berusaha bersikap sebiasa mungkin,
  • lihat responnya, kalo responnya negatif, hmm.mungkin saat itu bukan saat yang tepat untuk memulai pembicaraan tentang masalahmu dengannya, cari waktu lain deh..
  • kalo responnya positif mulai lah cerita tentang keluhanmu akan sahabatmu itu secara perlahan dan ingat jangan sampe pake nada tinggi yaa. tar dia tambah emosi dongg.
  • mulai cerita dengan apa keinginanmu, harapanmu, keluhan-keluhanmu dan jangan ingat!!jangan sampai pembicaraan ini hanya satu arah saja. usahakan dia ikut menimpali pembicaraanmu, karena yakinlah, ga ada orang yang akan betah dengan curhatanmuu berlama-lama padahal dia dalam posisi lagi ga sregg dengan kamu.
  • kalo pembicaraan sudah berlanjut, yakin deh kalian bakal terbawa suasana dan mulai melupakan masalah yang ada, bahkan masalah yang ada akan jadi bahan lelucon buat kalian.
percaya deh, dengan membicarakan masalah dari hati ke hati sebenernya akan mempercepat masalahmu akan selesai dengan para sahabat tersayang.. kalo makin kamu tunda atau bahkan menghindar, itu bukan cara terbaik dan malah akan makin merusak image mu di matanya karna kamu akan dianggap ga peduli tentang dirinyaa.

memang butuh keberanian untuk memulai, tapi aku yakin kok kalian pasti bisa, coz u love ur friend..
be positive thingking to ur friend. cz she/he never thinking negative of u.
semoga tips-nya bermanfaat teman2.. :)

Budaya Organisasi Pelayanan Publik

Budaya Organisasi Pelayanan Publik

Budaya organisasi merupakan sistem tindakan yang berbeda dalam organisasi yang telah terpola dalam mengarahkannya untuk menanggapi rangsangan dari luar dengan cara yang berbeda (Wilson, 1989, h. 93). Di Indonesia, birokrasi patrimonial masih sangat mewarnai birokrasi pelayanan publik. Sistem tindakan yang terpola dalam menghadapi warga negara antara organisasi pemerintah satu dengan yang lain akan berbeda sesuai dengan budaya organisasinya.

Budaya organisasi berasal dari tiga sumber yaitu (1) kepercayaan, nilai dan asums-asumsi dari pendiri organisasi, (2) pengalaman belajar dari anggota organisasi yang terlibat, (3) kepercayaan baru, nilai dan asumsi baru yang dibawa oleh anggota dan pimpinan organisasi (Schein, 1991, h.211).

Qameroon dan Quinn mendeskripsikan bentuk budaya organisasi kedalam 4 budaya, yaitu :
  1. Organisasi pelayanan publik dengan budaya klan, merupakan organisasi yang memilik karakteristik memusatkan pada kondisi internal dan integrasi.  Pelayanan publik dilakukan dengan mempertimbangkan kedekatan budaya dan sosial dengan klien, manajemen SDM lebih berdasarkan pada kesetiaan, pengambilan keputusan dengan cara konsensus. Budaya ini akan memperburuk kualitas pelayanan publik karena birokrat akan mendahulukan hubungan keluarga dalam melakukan pelayanan.
  2. Organisasi pelayanan publik dengan budaya hierarki, organisasi yang cenderung bersifat memusatkan pada kondisi internal, integrasi, stabilitas dan pengendalian. Pelayanan publik lebih didasarkan pada prosedur yang kaku dan tidak memiliki fleksibilitas dilapangan. Kendala budaya ini adalah sifat pelayanan yang sangat fleksibel sesuai dengan kondisi masyarakat.
  3. Organisasi pelayanan publik dengan budaya market, memiliki kecenderungan untuk memfokuskan pada stabilitas, pengendalian, fokus pada kondisi eksternal serta diferensiasi. Indikatornya antara lain : kepemimpinan yang agresif dan berorientasi pada hasil; pola manajerial yang bersifat kompetitif dan berorientasi pada tujuan; perekat dalam organisasi adalah keunggulan dalam pasar.
  4. Organisasi pelayanan publik dengan budaya adhocracy, memiliki karakteristik berorientasi pada pihak luar, diferensiasi, fleksibel dan kebebasan untuk memilih. Karakter organisasi jenis ini adalah tidak adanya hirarki dalam mengambil keputusan yang cepat, kuatnya peran manajer tingkat menengah dan bawah.
Sedangkan menurut Sethia dan Glinow (dalam Collins dan Mc Laughlin, 1996: 760-762), Budaya organisasi dibagi dalam empat macam menurut perhatiannya terhadap orang dan kinerja, yaitu :
  1. Aphatetic Culture, dimana perhatian anggota organisasi terhadap hubungan antar manusia dan perhatian terhdapa kinerja pelaksanaan tugas, dua-duanya rendah. Penghargaan diberikan atas dasar permainan politik dan manipulasi.
  2. Caring Culture, Dimana perhatian terhadap kinerja rendah dan perhatian terhadap hubungan antar manusia yang tinggi. Penghargaan berdasarkan pada kepaduan tim dan harmoni, bukan atas kinerja pelakasanaan tugas.
  3. Exacting Culture, dimana perhatian terhadap orang rendah, dan perhatian terhadap kinerja sangat tinggi. Penghargaan secara ekonomis dan memuaskan namun kegagalan akan dihukum berat dan akan menimbulkan rendahnya tingkat keamanan kerja.
  4. Integrative Culture, Dimana perhatian terhadap orang dan kinerja pekerjaan sama-sama tinggi.

Budaya organisasi di Indonesia jika dianalisis menggunakan pendekatan diatas, maka sebagian besar budaya organisasinya adalah budaya caring dan budaya clan. Dimana organisasi publik di Indonesia biasanya memiliki perhatian yang sangat rendah terhadap kinerja, dan memilik perhatian yang sangat tinggi terhadap hubungan antar manusia, memusatkan pada kondisi internal dan integrasi.  Pelayanan publik dilakukan dengan mempertimbangkan kedekatan budaya dan sosial dengan klien sehingga Budaya ini akan memperburuk kualitas pelayanan publik karena birokrat akan mendahulukan hubungan keluarga dalam melakukan pelayanan.

Budaya ini tidak cocok dalam pemberian pelayanan berkualitas terhadap masyarakat, sehingga harus diadopsi budaya organisasi baru yang disebut kultur kinerja (Ivancevich, Lorenzi, Skinner & Crosby 1997:460).
Menurut Ivancevich, Lorenzi, Skinner & Crosby (1997:460), budaya kinerja sebagai suatu situasi kerja yang memungkinkan semua karyawan dapat melaksanakan semua pekerjaan dengan cara terbaik yang dapat dilakukannya. Dan budaya pelayanan akan terbentuk dalam sebuah organisasi apabila (1) organisasi memiliki budaya kinerja, (2) organisasi memiliki budaya organisasi bertipe integrative, dan (3) para birokrat dalam organisasi memiliki 10 semat kewirausahaan.

Sikap dan Perilaku Aparat Pelayanan
Perry (1997) membedakan tiga motif birokrat organisasi publik dalam memberikan pelayanan publik, yaitu motif instrumental yang mengacu pada partisipasi dalam formulasi kebijakan publik, komitmen pada program publik dan advokasi pada kepentingan khusus. Motif normative yang mengacu pada kehendak untuk melindungi kepentingan umum, loyalitas dan tugas pada pemerintah dan keadilan sosial. Dan terakhir adalah Motif afektif yang menunjukkan pada komitmen pada kepentingan umum dan patriotisme

James Q Wilson membagi kategori birokrat dalam organisasi pelayanan publik menurut hirarki dalam organisasi yang mempunyai sikap dan prilaku yang berbeda, yaitu operator yang merupakan birokrat dibagian front line organisasi dan berhadapan langsung dengan masyarakat dan masalah, kemudian manajer dan eksekutif.

Sikap dan prilaku birokrat sangat dipengaruhi pelaksanaan tugas sesuai dengan situasi yang ada. Banyak kasus menyebutkan bahwa sikap birokrat akan mempengaruhi prilakunya.perlakuan sistem reward dan hukuman efektif merubah prilaku. Reward bagi birokrat lebih banyak bersifat nonmaterial yang mencakup tiga jenis : a sense of duty dan purpose, status dan power, benefit dari bagian organisasi.

Petkin (1967) mengemukakan tipologi perilaku birokrat yang terdiri dari trustees yang merupakan prilaku yang menggunakan judgemennya unutk kepentingan individu dan kelompok. Delegates adalah seseorang yang mencoba berprilaku untuk membantu orang yang diwakilinya. Politico adalah prilaku birokrat yang menggunakan posisi di birokrasi untuk kepentingan ideologi politiknya.

Selama ini birokrasi pemerintah dikenal sebagai organisasi dengan karajter red tape, rgidi dan incompetent serta big spenders. Pola adhocracy menjadi sangat jarang ditemui pola organisasi pemerintah seperti ini. Salah satu faktor penyebab karakter adhocracy adalah constraints atau kendala lingkungan organisasi pelayanan publik.

Birokrat jenis ketiga adalah eksekutif. Eksekutif menjalankan tugas pokok memelihara organisasi agar tetap eksis baik dari penghapusan dan penekakan dari pihak lain. Dalam birokrasi publik, memelihara organisasi dilakukan dengan menjaga sumberdaya ekonomi dan manusia dan paling penting dukungan politik. Anggaran yang meningkat akan menyebabkan otonomi organisasi menurun. Selznick membagi dua jenis otonomi yaitu otonomi eksternal dan internal.

Eksekutif dalam meningkatkan otonomi dengan menurunkan biaya pemeliharaan organisasi melalui minimalisir jumlah stakeholder eksternal, rival dan memaksimalkan kesempatan operator organisasi untuk mengembangkan perasaan kohesif.

Dalam lingkungan politik yang tidak pasti, seorang eksekutif melakukan dua jenis startegi (Terry A Moe dalam Williamson, h.144), yaitu : Strategi pertukaran yang saling menguntungkan dan strategi insulasi.
Secara umum, dikenal dua jenis eksekutif birokrasi pemerintah yaitu appointed dan elected executives. Perilaku eksekutif pada birokrasi di negara-negara berkembang mempunyai keunikan tersendiri, sesuai dengan lingkungan sosial politik yang ada.

Perilaku eksekutif di birokrasi publik di Indonesia mengalami perubahan signifikan terutama dalam merekrut pegawai baru, selain masih diwarnai hukum parkinson juga sangat diwarnai hukum keluarga. Dalam birokrasi pelayanan publik inovasi adalah bukannya program atau teknologi baru  tapi melaksanakan tugas baru atau perubahan metode pelaksanaan tugas sekarang.  Inovasi dapat dilakukan oleh eksekutif yang sengaja diangkat dari luar organisasi ataupun oleh pembentukan tim khusus.
Konteks (Lingkungan)
Birokrasi tidak berada dalam ruang yang hampa, tapi dalam konteks tertentu. Hal ini sama dengan Indonesia dimana DPR dab DPRD lebih merupakan pemerintah mikro karena hak mengesahkan, anggaran, pengangkatan sekda atau menginvestigasi pemerintah. Respon birokrasi terhadap kontrol lembaga legislatif antara lain dengan cara:
  • Mengakomodasi kepentingan politik lembaga legislatif dalam daerah pemilihannya;
  •   Memberikan imbalan kepada mereka dari proyek yang disetujui;
  • Menjaga reputasi lembaga;

Sedangkan pengaruh presiden pada birokrasi setidaknya melalui rekrutmen pimpinan lembaga, perubahan prosedur, reorganisasi birokrasi dan koordinasi kegiatan. Pengaruh pengadilan pada birokrasi setidaknya ada 3 hal yaitu biaya, kekuasaan dan kebijakan.

Masalah yang dihadapi birokrasi publik adalah inakuntabilitas, inefisiensi. Korupsi dan ketidakadilan pelayanan publik. Perilaku trouble pada operator akan menimbulakn efek domino yaitu trouble pada manajer dan eksekutif, sehingga menurut eksplorasi, eksplanasi dan pemahaman Wilson dan penulis lain tentang prilaku birokrat mulai dari level atas hingga bawah diperoleh beberapa kesimpulan penting, yaitu:
  1. Eksekutif harus memahami budaya organisasinya dan sealigus kekuatan dan kelemahannya.
  2.  Mengadakan negosiasi dengan atasan untuk memperoleh kesepakatan penting dilakukan dengan melihat constraint organisasi
  3. Memadukan distrbusi kewenangan dengan pengendalian sumber daya dalam melaksanakan tugas organisasi.
  4. Menjudge organisasi dengan result
  5. Memberikan peluang pada lembaga penilai untuk menilai organisasi.

Dengan demikian, teori prilaku birokrat dan birokrasi sangat tergantung pada tipologi regime politik di suatu negara, demikian pula budaya birokrasi yang ada sangat situasional dan particular.

REFERENSI :
Nurmandi, Achmad. 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: PT Sinergi Visi Utama.
Ratminto dan Winarsih, A.S. 2008. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Minggu, 17 April 2011

awal pembukaan blog!

haii blogger semuaa, aku juwitaa..
this is the first time i open blog and i so blind about it, but i will try to learn and enjoy it..
hmm...
agak bingung sih gimana buat dan ngisi ni blogger, namun dengan sedikit kepercayaan diri untuk meng-klik sana sini, dapat juga deh nii tempat nuliss. :)
semoga tulisan-tulisan saya selanjutnya dapat bermanfaat dan kita sama-sama bisa sharing lewat blog ini..
ayoo sapa yang mau bantu aku buat mempelajari penggunaan blog ini??? hhehe
finally thanks a lot and lets make a friend, :)

Mengapa anda terkadang susah untuk menulis?